Selasa, 17 Mei 2011

Wisata Kolo













PENGEMBANGAN DESA WISATA "KOLO"

Kota Bima merupakan salah satu daerah tujuan wisata di propinsi NTB. Daerah ini terbagi dalam 5 (lima) kecamatan yaitu 1) Kecamatan RasanaE Barat, 2). Kecamatan Asakota, 3) Kecamatan Mpunda 4). Kecamatan Raba 5). Kecamatan RasanaE Timur Berta memilikiltins wilayah 222,25 KM2. Secara factual, Kota Bima merupakan kota penting di Nusa Tenggara khususnya di kawasan Timur, terutama dalam hubungan wilayah dan percaturan dagang.
Posisi dan peranannya yang penting ini didukung oleh letaknya yang strategic di segi tiga mac Daerah Nusantara. Bima menjadi kota yang menghubungkan antara Sulawesi dio bagian Utara, Bali dan Lombok di bagian Barat, Flores, Sumba Timur di bagian Timur.
Masyarakat Kota Bima pada umumnya adalah Bima yang masih lekat dengan warna kehidupan sosial budaya dan keasliannya. Masyarakatnya masih menghargai dan menjunjung tinggi adat dan budaya. Ragam dan budaya yang ada merupakan keterpaduan antara alam dan iklim yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, budaya dan wisata alam merupakan anugrah dan fitrah Illahi yang Baling berkaitan antara satu dan lain sesuai dengan tuntunan dan sendi agama masyarakatnya yang religius.
Aneka ragam budaya dan wisata alam cukup menarik bila dipoles dengan terampil sehingga potensi wisata pantas dijual. Sebut Baja seperti Mada Oimbo, Kolo. Lawata, Oi ni'u, Oisii dan lain-lain, jikadikembangkan dan ditata dengan rapi maka hasilnya tidak kalah menarik seperti obyek daya tarik wisata yang berada di tempat lain.
Oleh karena itu, pengembangan destinasi kawasan Kolo sangat urgen untuk dilakukan, mengingat pentingnya obyek ini karena disamping berfungsi sebagai obyek daya tarik wisata pantai juga sebagai tempat transaksi dagang barang-barang luar dan jalur pelabuhan alternatif yang cukup potensial.


Kawasan Kolo adalah daerah pantai yang cukup cantik dan natural untuk dikembangkan menjadi salah satu tempat wisata. Sepanjang jalan menuju kawasan Kolo indah dan eksotik untuk didatangi. Dari segala arch yang terlihat adalah pemandangan unik dan menarik untuk dibidik. Melihat potensi ini, sepertinya pemerintah tidak merasa rugi untuk mengeluarkan dana seberapapun besarnya karena kawasan ini berpontensi untuk pengembangan wisata, ekonomi kelautan, pertanian, perikanan dan merupakan sumber pemasukan daerah yang cukup handal.
Menarik dan indah saja sudah berpontensi untuk mengundang wisatawan apalagi memiliki kelebihan lain seperti, pelabuhan altematif, tempat memancing yang elegant, pusat tambak udang bagi perikanan dan pegunungan yang melingkupinya bisa menjadi lahan pertanian yang cukup menghasilkan buah. Fungsi lain sebagai transaksi dagang barang luar dan sumber penghidupan nelayan dan bisa menjadi pelabuhan altematif yang cukup diandalkan serta masih banyak lagi potensi lain yang dimiliki kawasan ini.
Kolo merupakan salah satu kelurahan yang termasuk dalam kecamatan Asakota. Letaknya cukup jauh dan memerlukan waktu lebih kurang 1 (satu) jam untuk sampai ke tempat ini. Namur seperti yang diungkap tersebut, walaupun daerah ini berada di luar jantung kota Bima namun sepanjang jalan yang dilewati memberi nuansa tersendiri bagi yang melewatinya. Apalagi kalau sudah berada di tempat ini. Biasanya disambut oleh angin sepoi dan kehangatan, keramahan para penghuninya. Selain potensi-potensi tersebut Kolo bisa menjadi desa wisata yang aman dan nyaman bagi wisatawan karena selain pantainya yang tenang dan indah sehingga aman untuk berenang dan mancing jugs nyaman untuk menginap karena udaranya sejuk. Dan yang tidak kalah pentingnya, aman bagi wisatawan karena penghuninya agamais dan ramah.

Senin, 16 Mei 2011

Kerajaan Bima





1. Sejarah
a. Asal Usul
Kerajaan Bima terletak di pantai timur pulau Sumbawa. Asal mula kerajaan ini diperkirakan telah ada sejak periode Hindu. Namun, sayang sekali, data sejarah berkenaan dengan kerajaan ini pada masa Hindu sangat minim. Data sejarah tertulis yang tersedia hanya pada fase Bima telah konversi ke Islam pada tahun 1620 M. Sumber sejarah Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip. Sumber-sumber tersebut menceritakan tentang  fase sejarah sejak masa prasejarah hingga masuknya Islam. Ada dua prasasti yang ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu berbahasa Sanskerta dan satunya lagi berbahasa Jawa kuno. Ini menunjukkan bahwa, kedua bahasa tersebut ternyata juga pernah berkembang di Bima. Selain prasasti, juga banyak terdapat naskah-naskah kuno yang ditulis di era Islam, sehingga bisa digunakan untuk mengungkap sejarah di era tersebut. Naskah kuno berbahasa Melayu tersebut menceritakan kehidupan sejak abad ke-17 hingga 20 M. Selain bahasa Melayu, sebenarnya bahasa Bima juga cukup berkembang, namun, bahasa ini belum mencapai taraf bahasa tulis.
Bo Sangaji Kai, sebuah naskah kuno milik Kerajaan Bima yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu menceritakan bahwa, sejarah Bima dimulai pada abad ke-14 M. Ketika itu, pulau Sumbawa diperintah oleh kepala suku yang disebut Ncuhi. Pulau Sumbawa tersebut terbagi dalam lima wilayah kekuasaan Ncuhi: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. Ncuhi terkuat adalah Ncuhi Dara, wilayahnya disebut Kampung Dara. Struktur Ncuhi mulai mengalami perubahan, ketika Indra Zamrud, anak Sang Bima diangkat menjadi Raja Bima pertama. Selanjutnya, Indra Zamrud menggunakan nama ayahnya, yaitu Bima untuk menyebut kawasan yang meliputi pulau Sumbawa tersebut.
Berkenaan dengan Zamrud, kisahnya dimulai pada masa kanak-­kanak, ketika ia dikirim ayahnya ke Pulau Sumbawa dengan keranjang bambu. Indra Zamrud sampai dan mendarat di Danau Satonda, dekat Tambora. Ncuhi Dara sudah mendengar berita kedatangan Indra ini, karena itu ia datang untuk menyambut dan mengangkatnya sebagai anak. Ketika Indra dewasa, lima Ncuhi di Sumbawa sepakat mengangkatnya menjadi raja, sedangkan para Ncuhi tersebut menjadi menteri. Dengan kepemimpinan mereka, Kerajaan Bima terus berkembang dan menjadi pelabuhan dagang yang cukup diperhitungkan. Kenyataan ini sejalan dengan catatan yang terdapat dalam Kitab Negarakertagama yang menyebutkan bahwa, Kerajaan Bima sudah memiliki pelabuhan besar pada tahun 1365 M. Jadi, kisah dalam Bo Sangaji Kai ini sesuai dengan catatan Negarakertagama.
b. Bima dan Islam
Kerajaan Gowa-Tallo memegang peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat itu, pada abad ke 17 M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdagangan bagian barat. Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, maka, kemudian Gowa mengirim ekspedisi untuk menaklukkan kerajaan pada pantai timur yang meliputi Lombok dan Bima. Kerajaan-kerajaan ini berhasil ditaklukan dan diislamkan oleh Gowa pada tahun 1609 M. Seiring dengan masuknya Islam, maka, peradaban tulis juga berkembang. Oleh karena itu, data sejarah tertulis yang tersedia banyak berkaitan dengan fase pasca masuknya Bima ke Islam.
Walaupun Bima telah berhasil diislamkan oleh Gowa, Raja Ruma-ta Mantau Bata Wadu La Ka‘I gagal mengajak keluarga dan rakyatnya untuk ikut memeluk Islam. Akibatnya, ketika tentara Gowa ditarik dari Bima pada tahun 1632 M, keluarga raja dan rakyatnya bangkit menentang raja, dan berhasil menurunkannya dari tahta. Untuk mengatasi kemelut ini, pada tahun 1633 M, Gowa kembali mengirimkan pasukan ke Bima. Setelah melalui pertempuran berdarah, Gowa berhasil merestorasi kekuasaan pemeritahan Islam. Sejak saat itu, gelar raja diganti dengan sultan, dan Islam secara resmi menjadi agama kerajaan. Ketika berkuasa, para raja juga menggunakan nama-nama Arab untuk menunjukkan keislamannya.
Relasi dengan Kerajaan Gowa sangat dekat dan berlangsung selama hampir satu abad setengah. Ketika Gowa kalah di tangan Belanda, maka Bima akhirnya juga ikut menjadi daerah taklukan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada akhir abad ke-18 M (1792 M), di masa Sultan Abdul Hamid Muhammad Shah berkuasa di Bima. Saat itu, Sultan Abdul Hamid dipaksa oleh Belanda agar Bima menjadi salah satu wilayah protektorat Belanda.
Dalam relasi Belanda-Bima, Belanda cenderung untuk tidak terlalu ketat menanamkan pengaruh dan kekuasaannya, sehingga relasi tersebut berlangsung cukup berimbang. Belanda tidak mencampuri urusan pergantian kekuasaan di Bima, dan tidak seorangpun sultan Bima diasingkan oleh Belanda ke tempat lain. Ketika Jepang masuk ke Bima, relasi juga berlangsung cukup baik dan hampir tanpa insiden. Ada yang berpendapat bahwa, relas harmonis ini berhasil diraih karena orang-orang Bima telah banyak belajar dari pengalaman mereka selama berada di bawah kekuasaan Gowa.
Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siti Maryam, salah seorang putri Sultan, menyerahkan bangunan kerajaan kepada pemerintah dan kini dijadikan museum. Di antara peninggalan yang masih bisa dilihat adalah mahkota, pedang dan furnitur.
2. Silsilah
Berikut ini adalah urutan raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Bima:
  1. Jan wa Mamiyan
  2. Sangyang Tunggal.
  3. Sangyang Wunang
  4. Maharaja Indra Luka
  5. Batara Indra Manis
  6. Maharaja Indra Falasyara
  7. Maharaja Tunggal Pandita.
  8. Maharaja Batara Indra Ratu Punggawa Bisa.
  9. Maharaja Pandu Devanata.
  10. Maharaja Sang Bima
  11. Maharaja Sang Aji Dharmawangsa
  12. Maharaja Sang Kang Kula
  13. Maharaja Sang Rajuna
  14. Maharaja Sang Deva
  15. Maharaja Deva Indra Zamrud
  16. Maharaja Indra Kamala I.
  17. Maharaja Deva Batara Indra Bima
  18. Maharaja Batara Sang Luka
  19. Batara Mera?
  20. Maharaja Batara Sang Bima
  21. Maharaja Batara Matra Indrawata
  22. Maharaja Matra Indra Tarata
  23. Maharaja Nggampo Java
  24. Maharaja Indra Kumala.
  25. Maharaja Batara Bima Indra Luka
  26. Maharaja Indra Sri, Maharaja of Bima.
  27. Sangaji Ma Waa Paju Longgi (14.. – 1425 M)
  28. Sangaji Ma Waa Indra Mbojo (1425 – 14..)
  29. Sangaji Ma Waa Bilmana (14.. – 14..)
  30. Sangaji Manggampo Donggo (14.. – 1500)
  31. Ruma-ta Mambora Wa‘a Pili Tuta (1500-….)
  32. Sangaji Makapiri Solo
  33. Ruma-ta Mawa‘a Andapa
  34. Ruma-ta Mawa‘a La Laba
  35. Mantau La Sadina
  36. Ruma-ta Mambora di Sapaga
  37. Ruma-ta Mambora di Bata Lambu
  38. Ruma-ta Samara
  39. Ruma-ta Mantau Asi Sarise
  40. Ruma-ta Mantau La Limandaru
  41. Mantau La Sadina Abdul Rahim (1609-….)
  42. Mambora di Sapaga (16.. – 1620 M)
  43. Paduka Sri Sultan Abdul Kahir (1620-1632 M)
  44. Ruma Mantau Asi Peka (1632–1633 M)
  45. Paduka Sri Sultan Abdul Kahir (1620-1632) dan (1633-1640 M)
  46. Paduka Sri Sultan Abdul Khair I Sirajuddin Muhammad Shah bin Sultan Abdul Kahar (1640-1682 M).
  47. Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Shah bin Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1682-1687 M)
  48. Sultan Jamaluddin Inayat Shah bin Sultan Nuruddin Abu Bakar Ali Shah (1687–1695 M)
  49. Sultan Hasanudin Muhammad Ali Shah bin Sultan Jamaludin (1695-1731 M)
  50. Sultan Alauddin Muhammad Shah Zillullahi fi al Alam bin Sultan Hasanudin (1731–1748 M)
  51. Sangaji Perempuan Ruma Partiga Sultanah Kamalat Shah binti Sultan Alauddin (1748-1751 M)
  52. Sultan Abdul Karim Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Alauddin (1751–1773 M)
  53. Sultan Shafiuddin Abdul Hamid Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sri Nawa AbdulKarim (1773–1817 M)
  54. Sultan Ismail Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Shafiuddin Abdul Hamid (1817-1854 M)
  55. Sultan Abdullah Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Ismail (1854–1868 M)
  56. Sultan Abdul Aziz Zillullah fi al Alam bin almarhum Sultan Abdullah (1868–1881 M)
  57. Sultan Ibrahim Zillullah fi al Alam bin Sultan Abdullah (1881-1915 M)
  58. Sultan Muhammad Salahuddin Zillullah fi al Alam bin Sultan Ibrahim (1915–1951 M)
  59. Sultan Abdul Khair II Muhammad Shah Zillullah fi al Alam bin Sultan Muhammad Salahuddin (1951- 2001)
  60. Putra (Iskandar) Zulkarnain bin Sultan Abdul Khair II Muhammad Shah (Dr Ferry Zulkarnaen) (2001-sekarang).
3. Periode Pemerintahan
Sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah memerintah sekitar 60 orang raja atau sultan di Kerajaan Bima. Khusus pada periode Islam, ada 14 orang sultan. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, yang berkuasa di Kerajaan Bima adalah Sultan Muhammad Shalahuddin. Ia meninggal dunia pada tahun 1951, dan kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Khair II. Di masa Abdul Khair II ini, ia tidak banyak berkecimpung untuk mengurus Kerajaan Bima, sebab ia lebih memilih menjadi pegawai di Departemen Dalam Negeri  dan anggota Parlemen. Ketika meninggal dunia, ia digantikan oleh anak tertuanya, Putra Feri Andi Zulkarnain.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kerajaan Bima mencakup Pulau Sumbawa dan tanah-tanah timur, seperti Solo, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai dan Komodo.
5. Struktur Pemerintahan
(Dalam proses pengumpulan data)
6. Kehidupan Sosial Budaya
Masyarakat Bima merupakan campuran dari berbagai suku bangsa. Suku asli yang mendiami Bima adalah orang Donggo. Sebagian besar di antara mereka mendiami daerah dataran tinggi. Sebelumnya, 0rang-orang Donggo ini juga banyak yang mendiami daerah dataran rendah, namun, karena terdesak oleh para pendatang yang membawa agama dan kebudayaan baru, mereka menyingkir ke dataran tinggi. Hal ini didorong oleh keinginan untuk mempertahankan agama dan tradisi yang telah mereka warisi secara turun temurun. Kepercayaan asli orang Donggo adalah animisme, yang mereka sebut dengan Marafu. Dalam perkembangannya, kepercayaan ini terdesak oleh agama Kristen dan Islam. Orang Donggo yang menjadi suku asli Bima ini hidup dari bercocok tanam, dengan sistem peladangan yang berpindah-pindah. Oleh karena itu, rumah mereka juga berpindah-pindah.
Suku lain yang mendiami Bima adalah orang Dou Mbojo. Mereka adalah para migran dari daerah Makasar yang datang sekitar abad ke-14 M. Mereka berbaur dan menikah dengan orang asli Bima dan mendiami daerah pesisir. Untuk bertahan hidup, mereka bercocok tanam, berdagang dan menjadi pelaut. Kepercayaan asli orang Dou Mbojo adalah Makakamba-Makakimbi, sejenis animisme. Sebagai mediator antara alam gaib dengan manusia, dipilih seorang pemimpin yang disebut Ncuhi Ro Naka. Secara substantif, kepercayaan ini tidak berbeda dengan Marafu pada orang Donggo. Mereka memiliki tradisi ritual pada saat tertentu untuk menghormati arwah leluhur, dengan mempersembahkan sesajen dan hewan ternak sebagai korban. Upacara ini dipimpin oleh Ncuhi, ditempat yang disebut Parafu Ra Pamboro. Selain suku di atas, sejak Islam masuk pada abad ke-16 M, juga terdapat perkampungan Melayu di Bima.
Berkaitan dengan kehidupan keagamaan, agama besar pertama yang berkembang adalah Hindu. Sisa peninggalan peradaban Hindu ini masih bisa dilihat pada prasasti Wadu Pa‘a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan abad ke 8 M. Selain prasasti Wadu Pa‘a, juga ditemukan bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang. Namun, peninggalan bersejarah ini tidak mengandung informasi memadai untuk menjelaskan peranan agama Hindu di Bima.
Setelah Hindu, kemudian masuk agama Islam. Agama ini relatif mudah diterima, karena orang Bima sebenarnya telah lama mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat India dan Arab di Sape (pelabuhan Bima). Campur tangan penguasa Bima yang telah masuk Islam dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan telah ikut mempercepat penyebaran Islam, yang awalnya hanya dianut oleh masyarakat pesisir.
Saat ini, di beberapa daerah di Bima, terjadi percampuran antara Islam dan tradisi lokal, sehingga muncul suatu ikrar yang berbunyi: Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku. Artinya, hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam. Untuk memperkuat ikrar ini, sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah Majelis Adat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab dalam penyiaran, penyebaran dan pembuatan kebijakan keislaman.

Setelah agama Islam masuk ke Bima, kemudian berkembang tradisi tulis, sehingga banyak ditemukan naskah-naskah kuno peninggalan periode ini. Menurut Maryam (salah seorang ahli waris kerajaan Bima), ia memiliki dua peti naskah kuno Bima. Naskah kuno itu disebut Bo Sangaji Kai. Naskah ini ditulis ulang pada abad ke-19, dengan kertas buatan Belanda dan China. Pada masa Islam, naskah ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Aksara Bima yang sempat dipakai pada masa pra Islam kemudian ditinggalkan, seiring masuknya peradaban Islam tersebut.

Berkaitan dengan dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai, Siti Maryam sudah membacanya selama lima tahun, dibantu oleh almarhum sahabatnya, Rujiati SW Mulyadi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Selama lima tahun tersebut, baru satu kitab yang berhasil dibaca. Saat ini, ia terus membaca naskah kuno tersebut, dibantu oleh ahli filologi Perancis, Henry Chambert Loir. Hasil kerja mereka berdua telah melahirkan sebuah buku, berjudul Bo Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima, diterbitkan oleh Ecole Francaise d‘Extreme Orient bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar dalam dunia sejarah. Namun, harus diingat, masih banyak naskah kuno Bima yang belum tersentuh

Minggu, 15 Mei 2011

Pariwisata


Secara historis Kota Bima merupakan pusat Kesultanan Bima dimasa lampau. Dengan warisan kekayaan budaya yang dimiliki, Kota Bima dapat mengembangkan wisata budaya dengan kebudayaan Islam sebagai basisnya. Asi Mbojo (istana kesultanan), kuburan raja-raja dan para wali, permainan dan kesenian rakyat serta upacara keagamaan seperti perayaan maulud, U'a pua serta prosesi pelantikan raja dan lain-lain merupakan obyek dan event yang sangat menarik. Wisata alam dan bahari juga bisa dikembangkan. Kawasan pesisir dari Pantai Lawata sampai pintu gerbang Kota Bima bisa dikembangkan sebagai pusat perhotelan dan perdagangan souvenir. Taman Kota juga bisa diciptakan sebagai alternatif bagi wisatawan domestik.

Pariwisata yang cukup potensial untuk dikembangkan di wilayah ini adalah:
  • Pariwisata alam, meliputi Pantai Lawata, Pantai Amahami, Pantai Oi Ni'u, Pantai Ule, Pantai Kolo dan Pulau Kambing
  • Pariwisata budaya, meliputi museum Asi Mbojo, kuburan Tolobali, bukit Danatraha (kompleks makam Kesultanan Bima) dan Benteng Asakota
Hal ini didukung pula oleh berbagai usaha jasa dan produk wisata yang cukup baik, seperti usaha perhotelan, biro perjalanan wisata, dan souvenir berupa tenun ikat, songket, sarung dan lain-lain.

Sabtu, 14 Mei 2011

Pawai Budaya menyambut HUT Kota Bima ke IX Tahun 2011

Tidak terasa tinggal sehari lagi Kota Bima berumur 9 tahun, momen yang ditunggu oleh segenap masyarakat Kota Bima akhirnya akan tiba. Pada hari minggu nanti tanggal 10 April 2011, perhatian masyarakat Kota Bima akan tertuju pada sebuah Gedung megah nan indah yang tidak lain adalah Gedung Walikota Bima yang baru, gedung inilah yang nantinya akan dijadikan tempat dilaksanakannya acara puncak perayaan Hari Ulang Tahun Kota Bima.
Perayaan Hari Ulang Tahun Kota Bima kali ini sangat berbeda dengan perayaan sebelumnya karena tidak didamping oleh Almarhum Bapak H.M. Nor A. Latif, beliau adalah pencetus berdirinya Bangunan Megah Kantor Walikota Bima dan sekaligus menjabat sebagai Walikota Bima pada saat itu.
Masyarakat sangat antusias dalam menyambut acara tersebut, terbukti telah banyaknya berlangsung kegiatan-kegiatan yang digalang oleh masyarakat sendiri seperti perlombaan-perlombaan ditiap kampung, Haflah Al-Qur’an ditiap Kecamatan sampai pelaksanaan Pawai Budaya yang diadakan oleh Pemerintah Kota pada hari Kamis Kemarin (07/4).
Seluruh masyarakat, Sekolah maupun Instansi dalam lingkup Pemerintah Kota Bima ikut serta dalam memeriahkan Pawai Budaya dan tidak ketinggalan pula masyarakat pendatang seperti Jawa, Padang maupun Sumba. Mereka menggunakan pakaian adatnya masing-masing dengan dilengkapi alat musik yang menjadi ciri khas dari daerahnya. Tumpah ruahnya masyarakat ke jalan dalam mengikuti dan menonton langsung pelaksanaan Pawai Budaya kemarin menjadi suatu bukti kecintaannya terhadap Kota Bima tercinta, mulai dari anak-anak, remaja sampai yang tua. 

Jumat, 13 Mei 2011

ingat kuda ingat Bima ingat Bima ingat kuda

Melihat kuda yang memiliki prospek yang signifikan, Wakil Gubernur Provinsi NTB Ir. H. Badrun Munir, MM menjanjikan akan perjungkan Kuda Bima tidak hanya menjadi ikon Bima dan NTB, tetapi menjadi ikon dunia. Kenapa harus Kuda?  
MENYELARASKAN program visit Lombok Sumbawa 2012 oleh Pemerintah Provinsi NTB pada tahun 2009 lalu, Kota Bima akan mengambil bagian penting untuk menarik geliat pariwisata. Hal yang dirasa perlu untuk dikembangkan dan ditunjukan pada kancah nasional dan Internasional, Pemerintah Kota (Pemkot) Bima melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) menggelar event Festival Kuda Bima, Sabtu (4/12).
Festival Kuda Bima berlangsung sangat meriah, sejak pukul 07.30 wita bertempat di gedung Pemerintah Kota Bima yang baru, para undangan dari berbagai daerah di NTB pun turut hadir. Diantaranya, Wakil Gubernur Provinsi NTB Ir. H. Badrun Munir, MM hadir dengan rombongannya, Kapolda NTB Brigjen Pol. Drs. Arif Wachyunadi, jajaran Muspida dari Kota dan Kabupaten se-NTB serta beberapa turis mencanegara dan domestikpun turut hadir memeriahkan Festival Kuda tersebut.

Seusai menggelar upacara penyerahan bendera Pataka di halaman gedung Pemerintah Kota (Pemkot) yang baru. Menyusul kemudian dengan acara Festival Kuda Bima. Acara dimulai dari laporan pertanggungjawaban Ketua Panitia oleh Kepala Disbudpar Kota Bima Ir. H. Ramli Hakim.
Kata Ramli, acara Festival itu tersebut bertujuan mendukung program Pemerintah Provinsi visit Lombok Sumbawa tahun 2012 mendatang, pendistribusian pagelaran parisiwata yang merata di daerah NTB, melestarikan budaya Bima sehingga bisa meningkatkan arus kunjungan wisatawan dan memberikan kontribusi positif dalam menumbuhkan ekonomi berbasis sumber daya lokal, serta memperkenalkan Kuda Bima menjadi Kuda yang berkualitas. “Sehingga dari semua tujuan ini, muncul satu Motto yang kita simpulkan, bahwa Ingat Kuda Inga Bima, Ingat Bima Ingat Kuda,” ujarnya.
Kenapa harus Kuda yang sangat perlu diperkenalkan kepada dunia nasional dan interasional, Ramli mengaku, berangkat dari filosofi masyarakat Bima yang terdiri dari empat pilar penting yakni jika memilih seorang untuk dijadikan pasangan hidup, maka carilah pasangan yang baik. Jika ingin mendirikan rumah, maka pilihlah rumah dari bahan dasar yang baik. Kemudian, apabila ingin memiliki senjata, maka pilihlah besi yang baik dan jika ingin memiliki kendaraan yang baik, maka pilihlah kuda yang berkualitas.
”Bagi masyarakat Bima, kuda memiliki makna yang dinamis, berani dan terus berjuang. Tidak pantang menyerah, kendati apapun yang menghalangi”, urainya.
Untuk rangkaian acara Festival Kuda, kembali Ramli melanjutkan, seusai karnaval, kuda sebanyak 500 ekor yang sudah dipersiapkan untuk mengikuti karnaval akan digiring menyusuri jalan Soekarno-Hatta menuju Lapangan Merdeka Bima.
Tiba di sana, diikuti sore harinya dengan kegiatan pameran kuda, yang menyuguhkan aksesoris kuda melalui industri kerajinan rakyat, cinderamata serba prototype kuda, kuliner dengan bahan dasar kuda dan lomba photo tentang kuda. Serta peragaan perah susu kuda. Kemudian pada hari Ahadnya aka nada pacuan Kuda di Panda yang diikuti kurang lebih 1000 kuda. “Untuk anggaran Festival ini, bersumber dari APBD Provinsi dan sharing dengan anggaran Pemerintah Kota Bima,” tambahnya.
Di tempat yang sama, Wakil Walikota Bima H. A. Rahman H. Abidin dalam pidato singkatnya mengatakan, Pemerintah dan Masyarakat Kota Bima sangat bangga mendapatkan kesempatan penyelenggaraan Bulan Citra Budaya ke XVII melalui Festival Kuda Bima tersebut. Dimana, semua potensi kuda akan di sosialisasikan untuk dapat menarik minat wisatawan di daerah Bima.
“Ini kepercayaan yang sangat membanggakan kami. Potensi Kuda merupakan mutiara yang sangat membanggakan masyarakat Kota Bima dan Kabupaten Bima. Kita akan melihat secara keseluruhan apa saja potensi yang dimiliki Kuda Bima melalui pagelaran ini,” katanya.
Usai Aji Man menyampaikan pidato singkatnya, ada kalimat yang menarik yang dilontarkan Wakil Gubernur Provinsi NTB Ir. H. Badrun Munir, MM setelah mendapat giliran untuk memberikan sambutan. Dirinya akan memperjuangkan Kuda Bima tidak hanya menjadi ikon Bima dan NTB, pun juga akan menjadi ikon Dunia. “Komodo sudah adi ikon Dunia, kenapa lantas Kuda tidak. Kita akan sama-sama berjuang agar Kuda Bima juga mjadi ikon dunia,” janjinya.
Menurutnya, Komodo merupakan hewan yang tidak bisa didekati, karena berbahaya, tapi menjadi ikon dunia. Namun, Kuda merupakan hewan yang bisa didekati bahkan bisa ditunggani. Tidak hanya digunakan untuk kendaraan, pun kuda banyak memiliki manfaat lain yang bisa dijual. “Kuda memiliki prospek ekonomis. Mestinya Kuda juga menjadi Ikon dunia. Kedepan kita akan memperjuangkannya,” ujarnya. 
Lanjutnya, Festival Kuda di Kota Bima, menjadi bagian sejarah yang terpenting. Kuda sebagai hewan yang banyak memiliki manfaat akan bisa menarik pariwisata dan mambu membangkitkan ekonomi berbasis budaya lokal. Jika terus dikembangkan, maka geliat pariwisata akan terus mengalir ke Bima. “Ini harapan kita kedepan, peningkatan arus pariwisata juga akan mengalir deras ke Bima. Tentunya dengan keindahan alam dan kuda yang dimilikinya,” harapnya.
Sambutan dari Badrun tersebut, sekaligus membuka secara resmi Festival Kuda Bima. Sesaat kemudian, ratusan Kuda mulai diarahkan ke Jalur jalan utama untuk mengikuti karnaval menyusuri jalan Soekarno-Hatta. Sekitar pukul 10.20 ratusan kuda pun tiba di Lapangan Merdeka Bima. Pada sore harinya, meski suasana hujan, Pameran dan pasar rakyat tetap digelar, berbagai asesoris, kuliner dan beragam aneka yang melekat pada kuda diperkenal kepada pengunjung. Pada malam hari, pun dilanjutkan dengan acara seni dan budaya mengenai kuda.